sebuah essay yang pernahdiikutkan dalam sebuah lomba:
Kita menyadari sepenuhnya bahwa negara Indonesia mempunyai potensi terbesar di bidang agraris (pertanian), maka kebijakan teknologi harus berbasis pada tangguhnya sektor pertanian. Pengalaman dari negara-negara yang sudah maju selalu memulai kemajuannya dari potensi dasar yang dimilikinya. Misalnya Jepang, negara yang cukup canggih dalam menghasilkan teknologi ini memulai debutnya juga dengan memodernisasi teknologi pertaniaanya. Tetapi sayang sungguh sayang terhadap apa yang dilakukan republik ini selama hampir 50 tahun justru menginjak-injak sektor pertanian, seakan pertanian adalah aset yang selalu diposisikan paling bawah. Betapa tidak rusaknya logika berpikir jika pesawat terbang yang nota bene hasil rancangan putra-putra terbaik negara ini justru ditukar dengan beras ketan yang dapat dengan mudah dihasilkan oleh petani kita.
Kita menyadari sepenuhnya bahwa negara Indonesia mempunyai potensi terbesar di bidang agraris (pertanian), maka kebijakan teknologi harus berbasis pada tangguhnya sektor pertanian. Pengalaman dari negara-negara yang sudah maju selalu memulai kemajuannya dari potensi dasar yang dimilikinya. Misalnya Jepang, negara yang cukup canggih dalam menghasilkan teknologi ini memulai debutnya juga dengan memodernisasi teknologi pertaniaanya. Tetapi sayang sungguh sayang terhadap apa yang dilakukan republik ini selama hampir 50 tahun justru menginjak-injak sektor pertanian, seakan pertanian adalah aset yang selalu diposisikan paling bawah. Betapa tidak rusaknya logika berpikir jika pesawat terbang yang nota bene hasil rancangan putra-putra terbaik negara ini justru ditukar dengan beras ketan yang dapat dengan mudah dihasilkan oleh petani kita.
Dengan demikian pengembangan teknologi negara kita belum berbasis pada pertanian. Mengapa republik ini tidak menghabiskan dana besar-besaran untuk memacu teknologi pertanian, misalnya industri traktor, pengering, megkonsolidasi lahan, atau bahkan meningkatkan agroindustri? Mungkin hal ini disebabkan oleh sebagian besar masyarakat kita yang tidak menyadari sepenuhnya bahwa keunggulan komparatif yang kita miliki berada di sektor pertanian. Padahal pengalaman menunjukkan bahwa negara yang berdaya saing tinggi adalah negara yang mampu mengembangkan keunggulan komparatifnya menjadi keunggulan kompetitif. Di samping hal tersebut, masyarakat kita selalu memandang bahwa bertani merupakan pekerjaan yang tidak menarik atau selalu identik dengan pekerja kasar yang selalu bergelepotan dengan lumpur.
Waktu telah bergulir, dan kini kita telah memasuki era global yang sarat dengan kompetisi. Persaingan terang-terangan yang bersifat lokal maupun global akan terjadi. Negara yang tidak mempunyai dasar yang kuat dalam sistem perekonomiannya akan menjadi incaran dan mangsa bagi negara lain yang telah unggul teknologinya. Sehingga hal ini menyebabkan perbedaan yang semakin mencolok antara negara maju dengan negara yang belum maju.
Oleh karenanya, demi kemandirian bangsa, minimal kita harus mempunyai ketahanan pangan. Hal ini dapat dicapai bila sistem pertanian kita dikelola secara maksimal, berorientasi pasar, serba efektif dan efisien dalam penggunaan sarana input produksi (bibit, pupuk, obat, dan peralatan) sehingga tercapai produktifitas dan kualitas demi memperoleh keuntungan yang maksimum. Hal ini dapat tercapai bila peranan teknologi pertanian (alsintan) makin dikembangkan dan dioptimalkan berdasarkan strategi pembangunan sistem agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan desentralistis.
Apabila kita sudah memiliki ketahanan pangan maka sangat memungkinkan bagi kita untuk berkonsentrasi dalam mengembangkan dan mengejar bahkan menandingi produk produk teknologi dari negara yang sudah maju. Meskipun hal ini memakan biaya, tenaga, dan waktu yang tidak sedikit serta membutuhkan dukungan dari segenap komponen masyarakat. Melalui langkah yang sistematis, bersungguh-sungguh, dan konsisten dalam upaya melakukan inovasi atau pengembangan teknologi alat dan mesin pertanian, maka kita memiliki peluang yang sangat besar untuk dapat berkompetisi dengan bangsa lain dalam menghadapi era global.
Tantangan dan Permasalahan Pengelolaan Usaha Tani di Indonesia
Dewasa ini strategi pembangunan nasional khususnya pembangunan sektor pertanian dipusatkan pada upaya mendorong percepatan perubahan struktural, meliputi proses perubahan dari sistem pertanian tradisional ke sistem pertanian yang maju dan modern, dari sistem pertanian subsistem ke sistem pertanian yang berorientasi pasar dan dari kedudukan ketergantungan kepada kedudukan kemandirian.
Perubahan struktural tersebut merupakan langkah dasar yang meliputi pengalokasian sumber daya (baik alam, manusia maupun mekanik), penguatan kelembagaan dan pemberdayaan manusia. Dalam pelaksanaannya harus meliputi langkah-langkah nyata untuk meningkatkan akses kepada aset produktif berupa teknologi harus dapat dimanfaatkan dan dikembangkan untuk tujuan-tujuan yang lebih maju dan lebih bermanfaat termasuk antara lain pengolahan tanah, pemberian air pemilihan bibit unggul, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, dan pemanenan secara bijaksana.
Pembangunan pertanian harus diarahkan pada terciptanya tenaga petani yang terampil dalam mengelola usaha taninya. Juga terbentuknya masyarakat petani yang maju, bersemangat profesional sehingga mampu menghadapi tantangan dan permasalahan dalam melaksanakan usaha taninya.
Di Indonesia dapat dicatat adanya berbagai tantangan dan permasalahan dalam pengelolaan usaha tani yang masing-masing mempunyai kekhususan yang berbeda-beda seperti kenaikan produksi, peningkatan di bidang pemasaran, sistem kredit, dan efisiensi serta penggunaan teknologi (traktorisasi) yang masih rendah dibanding Negara lain. Berdasarkan data dalam Involusi pertanian, pada saat pengolahan tanah, traktorisasi di Indonesia sangat rendah dibanding negara lain. Pada hakikatnya Indonesia masih sangat ketinggalan pada pengembangan traktor. Pemakaian traktor di Indonesia hanya 0,005 Kw/ha. Amerika Serikat 1,7 Kw/ha, Belanda 3,6 Kw/ha dan Jepang 5,6 Kw/ha. Rendahnya pemakaian traktor ini disebabkan oleh rendahnya perkembangan mekanisasi di Indonesia. Akibatnya, untuk menggarap tanah seluas 1 ha diperlukan waktu berhari-hari dan melibatkan banyak tenaga manusia. Tenaga manusia akhirnya tidak mendapat harga yang layak sehingga produktivitas juga semakin rendah. Tenaga manusia adalah tenaga riskan, hanya digunakan paling cepat 4 bulan sekali menjadi buruh. Dari berbagai ragam tantangan dan permasalahan tersebut yang sering kali terlupakan adalah masalah efisiensi dalam pengelolaan usaha tani terutama yang berhubungan dengan kerja petani.
Perlunya Efisiensi pada Petani
Menurut Clifford Geertz dalam Involusi pertanian, pemakaian tenaga kerja di sektor pertanian di Indonesia tergolong sangat besar dibanding negara lain. Di Amerika Serikat kurang lebih 0,002 Kw/ha, Jepang 0,014 Kw/ha, sedang Indonesia 0,127 Kw/ha. Tetapi tenaga kerja manusia di Jepang dan Amerika Serikat lebih intensif dibanding di Indonesia. Terlihat adanya perbedaan nyata antara petani Indonesia dengan petani Jepang.
Langkah yang menyebabkan pertanian di Jepang jauh meninggalkan Indonesia dalam jangka waktu yang sama adalah produktivitas pekerja. Yang utama dalam produktivitas pekerja (petani) Jepang adalah terjadinya perbaikan yang esensial dalam praktik pertanian Jepang sesuai dengan produksi kecil yang efisien. Selain itu di Jepang produktivitas pekerja (petani) bukan hanya diperhitungkan per ha sawah, tetapi penggunaan tenaga kerja dimanfaatkan se efisien mungkin dengan menggunakan perhitungan yang baik.
Di Indonesia, efisiensi yang diartikan sebagai kedayagunaan suatu sumber tenaga dapat menangani suatu lahan, masih belum mendapat perhatian secara serius. Padahal fungsi perbaikan pertanian adalah meningkatkan pendapatan, kesejahteraan, taraf hidup dan daya beli petani. Sangat kecilnya efisiensi petani merupakan hambatan bagi faktor-faktor lain yang merupakan penetrasi pembangunan pertanian.
Perbaikan taraf hidup petani memang tidak dilakukan dengan hanya memberi landreform (Redistribusi Tanah Pertanian) atau credit reform (Pemberian Kredit Usaha Tani), tetapi perlu juga diperhatikan situasi kerja petani. Situasi kerja yang monoton dengan hasil yang rendah menyebabkan petani mengalami kejenuhan. Ditilik lebih jauh, perlu diakui bahwa kejenuhan petani ini terus berlangsung. Hal ini disebabkan oleh miskinnya inovasi dan tiadanya gebrakan-gebrakan baru yang menggairahkan petani.
Hambatan pembangunan dalam sector pertanian di Indonesia adalah lambatnya kemajuan teknologi. Kontras teknologi selalu dipersoalkan. Tingkat teknologi yang rendah menyebabkan petani sulit memperoleh hasil dalam proses produksi yang maksimal. Kehilangan hasil dalam proses produksi sangat besar, sementara biaya yang diperlukan sangat tinggi. Contoh paling sederhana adalah dalam memanen padi. Untuk 9 kg gabah harus dibayar 1 kg gabah. Jika total hasil panen padi (dalam satu musim tanam) dalam 1 ha adalah 9 ton gabah, maka biaya pemanenan yang dikeluarkan sebesar 1 ton gabah.
Efisiensi teknologi yang memperkecil tingkat kejerihan kerja dengan produktivitas tinggi masih dicemburui. Harapan memperkenalkan teknologi yang efisien selalu dihantui oleh pembengkakan pengangguran terutama di wilayah perdesaan. Akibatnya jumlah tenaga pengangguran semu dalam sector pertanian di Indonesia sangat besar. Tidak jelas lahirnya tenaga kerja semu ini karena efektivitas kerja rendah yang menyerap banyak tenaga manusia atau memang karena distribusi kerja yang tidak merata.
Tuntutan Inovasi
Dalam arah kebijaksanaan pembangunan nasional, pembangunan sector pertanian diarahkan untuk meningkatkan pendapatan kesejahteraan, daya beli, taraf hidup, kapasitas dan kemandirian serta akses masyarakat pertanian dalam proses pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas produksi serta distribusi dan keanekaragaman hasil pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan pada pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan yang berbudaya industri, maju dan efisien ditingkatkan dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pembangunan pertanian memang sudah saatnya menganut pendekatan industri bukan lagi agraris, artinya menangani pertanian secara industri bukan lagi tergantung sepenuhnya kepada faktor alam. Pengertian industri dalam hal ini bukan semata-mata mendirikan pabrik, tetapi yang lebih mendasar adalah mentransformasikan pola pikir, sikap mental dan perilaku masyarakat industri di kalangan para petani.
Kebudayaan industri tersebut antara lain mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, pertama pengetahuan merupakan landasan utama dalam menentukan langkah atau tindakan dalam pengambilan keputusan (bukan berdasarkan kebiasaan semata). Kedua, perekayasan harus menggantikan ketergantungan pada faktor alam. Ketiga, kemajuan teknologi merupakan sarana utama dalam pemanfaatan sumber daya. Keempat, efisiensi dan produktivitas sebagai dasar utama dalam alokasi sumber daya agar penggunaan sumber daya tersebut hemat. Kelima, mekanisme pasar merupakan media utama transaksi barang dan jasa. Keenam, profesionalisme merupakan karakter yang menonjol.
Untuk memenuhi tuntutan di atas, alternatif inovasi yang sampai sekarang tampaknya relevan walaupun tidak terlalu baru adalah penerapan mekanisasi pertanian. Mekanisasi pertanian dapat diartikan sebagai penggunaan alat dan mesin pertanian dalam arti luas. Alat dan mesin pertanian seperti mesin traktor tangan, traktor besar, pompa air, sprayer, tresher, dan vinower perlu disesuaikan dengan spesifikasi lokasi atau kecocokan di lapangan, sehingga penggunaan alat dan mesin pertanian tersebut dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna. Dalam pelaksanaan program mekanisasi pertanian tersebut diperlukan persyaratan. Persyaratan tersebut yaitu syarat keharusan, yang meliputi stabilitas nasional, kelayakan, teknologi pertanian, serta sumber daya manusia (SDM) dan syarat kedua yaitu syarat kecukupan yang meliputi infrastruktur, berkelanjutan, dan pengembangan wilayah. Oleh karena itu, sudah saatnya dimulai upaya penerapan mekanisasi pertanian dalam sistem pertanian nasional agar dapat meningkatkan produktivitas petani pada khususnya danproduktivitas pertanian nasional pada umumnya.
Upaya menuju pertanian industri antara lain dapat dikembangkan dengan peningkatan penggunaan alat dan mesin pertanian dalam pengolahan tanah dan penanganan pasca panen. Dengan demikian, salah satu keuntungan yang diperoleh dari pertanian industri adalah terjadinya peningkatan efisiensi dan produktivitas pemanfaatan sumber daya alam.
Waktu telah bergulir, dan kini kita telah memasuki era global yang sarat dengan kompetisi. Persaingan terang-terangan yang bersifat lokal maupun global akan terjadi. Negara yang tidak mempunyai dasar yang kuat dalam sistem perekonomiannya akan menjadi incaran dan mangsa bagi negara lain yang telah unggul teknologinya. Sehingga hal ini menyebabkan perbedaan yang semakin mencolok antara negara maju dengan negara yang belum maju.
Oleh karenanya, demi kemandirian bangsa, minimal kita harus mempunyai ketahanan pangan. Hal ini dapat dicapai bila sistem pertanian kita dikelola secara maksimal, berorientasi pasar, serba efektif dan efisien dalam penggunaan sarana input produksi (bibit, pupuk, obat, dan peralatan) sehingga tercapai produktifitas dan kualitas demi memperoleh keuntungan yang maksimum. Hal ini dapat tercapai bila peranan teknologi pertanian (alsintan) makin dikembangkan dan dioptimalkan berdasarkan strategi pembangunan sistem agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan desentralistis.
Apabila kita sudah memiliki ketahanan pangan maka sangat memungkinkan bagi kita untuk berkonsentrasi dalam mengembangkan dan mengejar bahkan menandingi produk produk teknologi dari negara yang sudah maju. Meskipun hal ini memakan biaya, tenaga, dan waktu yang tidak sedikit serta membutuhkan dukungan dari segenap komponen masyarakat. Melalui langkah yang sistematis, bersungguh-sungguh, dan konsisten dalam upaya melakukan inovasi atau pengembangan teknologi alat dan mesin pertanian, maka kita memiliki peluang yang sangat besar untuk dapat berkompetisi dengan bangsa lain dalam menghadapi era global.
Tantangan dan Permasalahan Pengelolaan Usaha Tani di Indonesia
Dewasa ini strategi pembangunan nasional khususnya pembangunan sektor pertanian dipusatkan pada upaya mendorong percepatan perubahan struktural, meliputi proses perubahan dari sistem pertanian tradisional ke sistem pertanian yang maju dan modern, dari sistem pertanian subsistem ke sistem pertanian yang berorientasi pasar dan dari kedudukan ketergantungan kepada kedudukan kemandirian.
Perubahan struktural tersebut merupakan langkah dasar yang meliputi pengalokasian sumber daya (baik alam, manusia maupun mekanik), penguatan kelembagaan dan pemberdayaan manusia. Dalam pelaksanaannya harus meliputi langkah-langkah nyata untuk meningkatkan akses kepada aset produktif berupa teknologi harus dapat dimanfaatkan dan dikembangkan untuk tujuan-tujuan yang lebih maju dan lebih bermanfaat termasuk antara lain pengolahan tanah, pemberian air pemilihan bibit unggul, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, dan pemanenan secara bijaksana.
Pembangunan pertanian harus diarahkan pada terciptanya tenaga petani yang terampil dalam mengelola usaha taninya. Juga terbentuknya masyarakat petani yang maju, bersemangat profesional sehingga mampu menghadapi tantangan dan permasalahan dalam melaksanakan usaha taninya.
Di Indonesia dapat dicatat adanya berbagai tantangan dan permasalahan dalam pengelolaan usaha tani yang masing-masing mempunyai kekhususan yang berbeda-beda seperti kenaikan produksi, peningkatan di bidang pemasaran, sistem kredit, dan efisiensi serta penggunaan teknologi (traktorisasi) yang masih rendah dibanding Negara lain. Berdasarkan data dalam Involusi pertanian, pada saat pengolahan tanah, traktorisasi di Indonesia sangat rendah dibanding negara lain. Pada hakikatnya Indonesia masih sangat ketinggalan pada pengembangan traktor. Pemakaian traktor di Indonesia hanya 0,005 Kw/ha. Amerika Serikat 1,7 Kw/ha, Belanda 3,6 Kw/ha dan Jepang 5,6 Kw/ha. Rendahnya pemakaian traktor ini disebabkan oleh rendahnya perkembangan mekanisasi di Indonesia. Akibatnya, untuk menggarap tanah seluas 1 ha diperlukan waktu berhari-hari dan melibatkan banyak tenaga manusia. Tenaga manusia akhirnya tidak mendapat harga yang layak sehingga produktivitas juga semakin rendah. Tenaga manusia adalah tenaga riskan, hanya digunakan paling cepat 4 bulan sekali menjadi buruh. Dari berbagai ragam tantangan dan permasalahan tersebut yang sering kali terlupakan adalah masalah efisiensi dalam pengelolaan usaha tani terutama yang berhubungan dengan kerja petani.
Perlunya Efisiensi pada Petani
Menurut Clifford Geertz dalam Involusi pertanian, pemakaian tenaga kerja di sektor pertanian di Indonesia tergolong sangat besar dibanding negara lain. Di Amerika Serikat kurang lebih 0,002 Kw/ha, Jepang 0,014 Kw/ha, sedang Indonesia 0,127 Kw/ha. Tetapi tenaga kerja manusia di Jepang dan Amerika Serikat lebih intensif dibanding di Indonesia. Terlihat adanya perbedaan nyata antara petani Indonesia dengan petani Jepang.
Langkah yang menyebabkan pertanian di Jepang jauh meninggalkan Indonesia dalam jangka waktu yang sama adalah produktivitas pekerja. Yang utama dalam produktivitas pekerja (petani) Jepang adalah terjadinya perbaikan yang esensial dalam praktik pertanian Jepang sesuai dengan produksi kecil yang efisien. Selain itu di Jepang produktivitas pekerja (petani) bukan hanya diperhitungkan per ha sawah, tetapi penggunaan tenaga kerja dimanfaatkan se efisien mungkin dengan menggunakan perhitungan yang baik.
Di Indonesia, efisiensi yang diartikan sebagai kedayagunaan suatu sumber tenaga dapat menangani suatu lahan, masih belum mendapat perhatian secara serius. Padahal fungsi perbaikan pertanian adalah meningkatkan pendapatan, kesejahteraan, taraf hidup dan daya beli petani. Sangat kecilnya efisiensi petani merupakan hambatan bagi faktor-faktor lain yang merupakan penetrasi pembangunan pertanian.
Perbaikan taraf hidup petani memang tidak dilakukan dengan hanya memberi landreform (Redistribusi Tanah Pertanian) atau credit reform (Pemberian Kredit Usaha Tani), tetapi perlu juga diperhatikan situasi kerja petani. Situasi kerja yang monoton dengan hasil yang rendah menyebabkan petani mengalami kejenuhan. Ditilik lebih jauh, perlu diakui bahwa kejenuhan petani ini terus berlangsung. Hal ini disebabkan oleh miskinnya inovasi dan tiadanya gebrakan-gebrakan baru yang menggairahkan petani.
Hambatan pembangunan dalam sector pertanian di Indonesia adalah lambatnya kemajuan teknologi. Kontras teknologi selalu dipersoalkan. Tingkat teknologi yang rendah menyebabkan petani sulit memperoleh hasil dalam proses produksi yang maksimal. Kehilangan hasil dalam proses produksi sangat besar, sementara biaya yang diperlukan sangat tinggi. Contoh paling sederhana adalah dalam memanen padi. Untuk 9 kg gabah harus dibayar 1 kg gabah. Jika total hasil panen padi (dalam satu musim tanam) dalam 1 ha adalah 9 ton gabah, maka biaya pemanenan yang dikeluarkan sebesar 1 ton gabah.
Efisiensi teknologi yang memperkecil tingkat kejerihan kerja dengan produktivitas tinggi masih dicemburui. Harapan memperkenalkan teknologi yang efisien selalu dihantui oleh pembengkakan pengangguran terutama di wilayah perdesaan. Akibatnya jumlah tenaga pengangguran semu dalam sector pertanian di Indonesia sangat besar. Tidak jelas lahirnya tenaga kerja semu ini karena efektivitas kerja rendah yang menyerap banyak tenaga manusia atau memang karena distribusi kerja yang tidak merata.
Tuntutan Inovasi
Dalam arah kebijaksanaan pembangunan nasional, pembangunan sector pertanian diarahkan untuk meningkatkan pendapatan kesejahteraan, daya beli, taraf hidup, kapasitas dan kemandirian serta akses masyarakat pertanian dalam proses pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas produksi serta distribusi dan keanekaragaman hasil pertanian. Pembangunan pertanian diarahkan pada pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan yang berbudaya industri, maju dan efisien ditingkatkan dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pembangunan pertanian memang sudah saatnya menganut pendekatan industri bukan lagi agraris, artinya menangani pertanian secara industri bukan lagi tergantung sepenuhnya kepada faktor alam. Pengertian industri dalam hal ini bukan semata-mata mendirikan pabrik, tetapi yang lebih mendasar adalah mentransformasikan pola pikir, sikap mental dan perilaku masyarakat industri di kalangan para petani.
Kebudayaan industri tersebut antara lain mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, pertama pengetahuan merupakan landasan utama dalam menentukan langkah atau tindakan dalam pengambilan keputusan (bukan berdasarkan kebiasaan semata). Kedua, perekayasan harus menggantikan ketergantungan pada faktor alam. Ketiga, kemajuan teknologi merupakan sarana utama dalam pemanfaatan sumber daya. Keempat, efisiensi dan produktivitas sebagai dasar utama dalam alokasi sumber daya agar penggunaan sumber daya tersebut hemat. Kelima, mekanisme pasar merupakan media utama transaksi barang dan jasa. Keenam, profesionalisme merupakan karakter yang menonjol.
Untuk memenuhi tuntutan di atas, alternatif inovasi yang sampai sekarang tampaknya relevan walaupun tidak terlalu baru adalah penerapan mekanisasi pertanian. Mekanisasi pertanian dapat diartikan sebagai penggunaan alat dan mesin pertanian dalam arti luas. Alat dan mesin pertanian seperti mesin traktor tangan, traktor besar, pompa air, sprayer, tresher, dan vinower perlu disesuaikan dengan spesifikasi lokasi atau kecocokan di lapangan, sehingga penggunaan alat dan mesin pertanian tersebut dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna. Dalam pelaksanaan program mekanisasi pertanian tersebut diperlukan persyaratan. Persyaratan tersebut yaitu syarat keharusan, yang meliputi stabilitas nasional, kelayakan, teknologi pertanian, serta sumber daya manusia (SDM) dan syarat kedua yaitu syarat kecukupan yang meliputi infrastruktur, berkelanjutan, dan pengembangan wilayah. Oleh karena itu, sudah saatnya dimulai upaya penerapan mekanisasi pertanian dalam sistem pertanian nasional agar dapat meningkatkan produktivitas petani pada khususnya danproduktivitas pertanian nasional pada umumnya.
Upaya menuju pertanian industri antara lain dapat dikembangkan dengan peningkatan penggunaan alat dan mesin pertanian dalam pengolahan tanah dan penanganan pasca panen. Dengan demikian, salah satu keuntungan yang diperoleh dari pertanian industri adalah terjadinya peningkatan efisiensi dan produktivitas pemanfaatan sumber daya alam.
ESSAY
Oleh : Ahmad Mursyid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar