Pendidikan adalah hal yang paling fundamental dalam kehidupan manusia. Menurut pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 dengan jelas dikatakan bahwa tujuan Negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, ditambah lagi dengan penegasan pada undang-undang bahwa “memberikan pendidikan yang layak bagi kemanusiaan” adalah salah satu tujuan Negara RI. Secara konseptual, tujuan Negara tersebut sangat ideal, akan tetapi penerapannya bisa kita lihat melalui fakta-fakta yang terjadi di lapangan dan UU penjabaran, peraturan-peraturan serta kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang pendidikan itu sendiri apakah memang mendukung tercapainya tujuan Negara tersebut ataukah justru mempunyai motif lain.
UU No. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional adalah undang-undang yang mengatur masalah pendidikan di Indonesia. Jenjang pendidikan formal diatur sedemikian rupa dengan harapan agar tujuan Negara dapat tercapai. Namun, jika kita melihat realitas yang terjadi di negeri ini, tujuan Negara dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa jelas tidak tercapai apalagi ketika kita melihat rakyat Indonesia dari kalangan menengah ke bawah , sangat banyak yang tidak bisa mengakses dunia pendidikan karena biaya pendidikan yang sangat tinggi.
|
penyeragaman isi kepala |
Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2010 tentang pengelolaan pendidikan sebagai bentuk revisi dari PP No. 17 (penjabaran dari UU BHP) telah digodok oleh pemerintah dan sangat banyak yang menolak kebijakan tersebut. Alasannya jelas, pendidikan yang notabenenya adalah hal yang paling urgen dalam kehidupan manusia justru akan di serahkan ke sector swasta, terbukti dengan adanya satu pasal yakni pasal 58F tentang diperbolehkannya pihak ke tiga menginvestasikan dananya ke sector pendidikan
, artinya jika pendidikan diserahkan ke pihak ketiga berarti segala hal yang berkaitan dengan pendidikan mulai dari sistem manajemen, operasional, pengelolaan, dan sebagainya ditentukan secara penuh oleh pemilik sekolah/kampus.
Jika kita melihat sistem pendidikan formal yang berjenjang, mulai dati taman kanak-kanak sampai pada pendidikan tinggi maka memang ada kejanggalan-kejanggalan, mulai dari adanya penyeragaman disemua sekolah diseluruh indonesia yang dikemas dalam bentuk “kurikulum”. Kurikulum yang diterapkan pun justru selalu berubah-ubah tergantung menteri pendidikannya, jika menteri pendidikan diganti berarti sudah bisa dipastikan kurikulum pendidikan pun pasti akan berubah (sebagai contoh, kurikulum berbasis kompetensi-KBK, kurikulum tingkat satuan pendidikan-KTSP, dan lain-lain). Ini menunjukkan adanya ketidak jelasan dan ketidak konsistenan dari pemerintah kita terhadap pendidikan. bentuk penyeragaman yang lain seperti penyeragaman seragam sekolah, buku yang digunakan, dan sebagainya.
Belum lagi ketika kita melihat infrastruktur sekolah di indonesia di tingkat jenjang pendidikan formal, sistem pendidikan memang merangarahkan seseorang ke kota (urbanisasi). Hal ini jelas terlihat pada berbagai daerah, rata-rata di tingkat desa hanya ada sekolah dasar dan sejenisnya dan tidak ada jenjang pendidikan untuk sekolah lanjutan tingkat pertama atau yang setara dan kalaupun ada hanya sedikit sehingga tidak cukup untuk menampung anak-anak yang ingin melanjutkan sekolahnya. Begitupun untuk tingkat kecamatan, kota kabupaten, dan sampai pada kota provinsi dimana perguruan tinggi terdapat disana. Jadi, memang ada sistem yang mengarahkan orang ke kota dan tidak akan kembali lagi ke desa nya setelah sampai di kota. Fakta lain yang mendukung argumen ini adalah kuantitas mahasiswa di kota adalah dominan berasal dari daerah.
Impilikasi dari sistem tersebut adalah tergerusnya nilai-nilai budaya lokal (kearifan lokal) dan mungkin ada unsur kesengajaaan di dilakukan di dalamnya. Rakyat Indonesia memang sengaja diseragamkan agar outputnya sama yakni agar menjadi “robot” yang bisa digerakkan kesana-sini yakni menjadi buruh dari para kaum pemodal/pengusaha. Inilah kemudian yang kita kenal dengan istilah link and match di manapemerintah dalam hal ini sebagai penyedia tenaga kerja dan kaum pemodal (baca: kapitalis) sebagai pembuat lapangan kerja. Hal ini menandakan adanya perselingkuhan antara pemerintah dan pemodal (neoliberalisme). Ditambah lagi dengan logika-logika pembodohan seperti ‘orang yang sukses adalah orang yang mendapat pekerjaan setelah selesai kuliah dan mempunyai gaji yang tinggi’ dan itulah yang tertanam di sebagian besar rakyat Indonesia.
|
penyeragaman isi kepala |
Hal lain yang agak mengganjal di sistem pendidikan kita adalah sistem penilain lulus tidaknya siswa dengan ujian akhir misalnya atau kuantifikasi-kuantifikasi data yang hanya beberapa hari dilakukan. Misalnya, Ujian Akhir Nasional (UAN) untuk siswa tingkat mengengah dan tingkat pertama. Makanya jangan heran ketika ada siswa yang bunuh diri gara-gara tidak lulus ujian nasional karena menganggap dirinya sudah tidak punya masa depan dan merasa malu di depan teman-temannya apalagi keluarganya. Kecurangan-kecurangan yang terjadi saat UAN pun patut dipertimbangkan sebagai bentuk akibat bobroknya sistem pendidikan kita, misalnya kasus yang baru-baru ini terjadi yaitu adanya contekan massal saat UAN, kasus guru memberikan kunci jawaban kepada siswanya, kasus calo masuk perguruan tinggi, dan masih banyak lagi kasus-kasus yang lain. hal itu dilakukan karena memang “sistem” yang mengharuskan hal demikian. Bisa datarik benang merahnya kenapa hal tersebut terjadi, sebuah institusi pendidikan anggaplah sekolah XX, reputasinya akan naik ketika persentase kelulusan siswanya tinggi dan ini tentu membawa hal yang baik bagi guru pengajar untuk mata pelajaran tertentu. Guru tersebut dianggap berhasil ketika persentase kelulusan untuk mata pelajaran yang diajarkannya tinggi, oleh karena itu berbagai cara dilakukan termasuk memberikan kunci jawaban saat UAN.
Mari kita melihat dalam skala yang lebih besar, yaitu tingkat kabupaten. Kepala dinas pendidikan akan dinilai berhasil oleh bupati ketika persentase kelulusan siswa tinggi atau minimal mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, maka secara otomatis berbagai cara juga dilakukan untuk menggenjot hal tersebut. Hal tersebut terjadi sampai pada tingkat yang lebih tinggi yakni negara (presiden). Presiden akan menilai kinerja menteri pendidikan berhasil jika tingkat kelulusan semakin tinggi, jika mengalami penurunan bisa saja menteri pendidikan akan dicopot jabatannya, sehingga mau tidak mau berbagai cara dilakukan dengan cara-cara yang halus. Semua dinilai secara kuantitatif padahal secara kualitatif belum tentu menghasilkan output yang sesuai dengan harapan. Hal ini memang merupakan pembodahan sekaligus sebagai kelemahan sistem pendidikan kita. Sebenarnya bagaimana solusi dari permasalahan laten ini?
Menurut hemat penulis, kurikulum pendidikan tidak boleh diseragamkan di tiap daerah. Jika kita mencoba melihat kebelakang, sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia adalah sistem pendidikan kolonial di mana belanda dalam hal ini menggunakan konsep pendidikan di negaranya. Sementara kondisi negara eropa (negara benua) dangat berbeda dengan negara Indonesia yang notabenenya adalah negara kepulauan. Jadi sangat tidak cocok memang diterapkan sistem pendidikan kolonial di mana semuanya diseragamkan. Pendidikan seharusnya memperhatikan kondisi daerah atau desa tertentu sesuai dengan sumber daya yang dimilikinya, bagaimana seharusnya SDA di daerah tersebut diolah, dsb. Tetapi semua itu harus berlandaskan pada kearifan lokal agar kebudayaan Indonesia tetap lestari dan tidak mudah untuk terbawa oleh arus globalisasi, kalupun bisa mari kita gunakan kearifan lokal kita untuk melihat globalisasi agar supaya yang terjadi sebaliknya, nilai-nilai budaya lah yang menggiring globalisasi.
Mengenai sistem penilaian yang berbasis kuantifikasi-kuantifikasi data, kita harus mengubah paradigma kita tentang hal itu apalagi di dunia pendidikan. kompetensi seseorang harus diukur dari seberapa besar kontribusinya terhadap negara, misalnya bagaimana kemudian kita menghargai seorang siswa dari kompetensi tertentu yang dimilikinya terhadap bidang tertentu. Karena tidak ada bukti empirik yang mengatakan bahwa orang yang sekolah lebih cerdas daripada orang yang tidak pernah mengenyam pendidikan lewat jalur formal seperti sekolah. Fakta sejarah menunjukkan bahwa orang-orang yang berkontribusi terhadap dunia justru tidak datang dari sekolah. Thomas Alfa Edison yang hanya sampai kelas 3 sekolah dasar tapi dia bisa menemukan bola lampu, Albert Einstein hanya sampai kelas 2 sekolah dasar tapi siapa yang tidak kenal dia, dan masih banyak yang lain. Sultan Hasanuddin adalah orang yang hebat di strategi perang, tapi pernahkah dia menempuh pendidikan formal di sekolah?, raja-raja dulu pun kayaknya tidak pernah sekolah akan tetapi siapa yang meragukan mereka?, sampai pada Nabi Muhammad yang notabene tidak pernah sekolah secara formal akan tetapi, luar biasa, dan masih banyak fakta lain yang menunjukkan betapa ‘sekolah’ hari ini di Indonesia tidak mencerdaskan kehidupan bangsa. Intinya adalah belajar, belajar, dan belajar, serta tidak mengenal kata waktu dan tempat karena:
Semua tempat adalah kelas dan
Semua orang adalah guru........