Indonesia Diantara Perang Dunia II Jilid II atau Perang Dunia III?

ilustrasi gambar
Perang dunia ke-II berakhir ditandai dengan kemenangan blok barat, di mana terdapat dua negara adidaya di dalamnya yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet. Berakhirnya perang dunia II bukan berarti perang telah berakhir, akan tetapi babak baru telah dimulai yakni perang dingin antara Uni Soviet dan AS. Perang dingin adalah perang yang tidak lagi memakai kekerasan fisik akan tetapi lebih mengarah ke penjajahan ideologi. AS yang menganut paham kapitalis atau liberalis dan Uni Soviet yang menganut paham komunis. Pertarungan ideologi pun dimulai. Keinginan untuk menjadi negara terkuat semakin mengemuka ditandai dengan perbutan pengaruh di luar kedua negara tersebut. AS akhirnya keluar sebagai pemenang dengan berani mencaplok diri sebagai negara ‘adikuasa’ atau ‘adidaya’. Kemenangan AS tersebut membuat negara AS memiliki gelar sebagai “negara adidaya” dan melekat sampai sekarang. Negara AS seakan-akan menjadi dokter bagi pasien (baca: negara-negara lain). Peran negara AS di dunia internasional secara otomatis menjadi dominan dan memegang kendali di berbagai bidang. Akan tetapi, di abad 21 sekarang ini, muncul negara Cina sebagai saingan baru dari negara AS. Oleh karena itu, perang dingin jilid II seakan-akan terjadi, hal ini ditandai dengan adanya perebutan “pasar” antara negara AS dan Cina di mana perebutan pangsa pasar untuk memasarkan produk-produk kedua negara tersebut. Gejolak yang terjadi tersebut berdampak terhadap negara-negara lain termasuk Indonesia.
Dampak yang ditimbulkan di Indonesia terutama sangat terasa di bidang ekonomi. Ekonomi menjadi gerbang masuknya neoliberalisme dalam bentuk kerjasama antara pemerintah dengan pihak asing baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerjasama-kerjasama internasional indonesia dengan negara lain adalah dalam bentuk adanya pinjaman utang luar negeri dari negara lain, bergabungnya Indonesia di forum G-20, negara-negara Asean, negara OPEC,  adanya pinjaman dan kerjasama dengan IMF, World Bank, kebijakan CAFTA, dan masih banyak lagi kerjasama internasional lainnya yang dilakukan Indonesia.
Adanya kerjasama internasional tersebut tentunya membawa akan membawa pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan atau regulasi-regulasi nasional pemerintah khususnya di bidang ekonomi. Fakta menunjukkan bahwa telah ada 46 perusahaan Negara telah diprivatisasi baik sector jasa/keuangan maupun industri (indoosat, Krakatau stell, BTN, PT asuransi jasa, PT PN III, IV, VII, PT Industry Kapal Indonesia Makassar, dan lain-lain). Belum lagi ketika kita melihat kuantifikasi data yang berusaha dilakukan oleh pemerintah kita yang tercinta, misalnya pertumbuhan ekonomi yang selalu meningkat dari tahun ke tahun (tahun 2010 sebesar 6,1%), sementara ketika kita melihat realita yang terjadi justru sangat memiriskan hati. Bulan februari yang lalu, bersama-sama kita saksikan di NTB sekitar 151 korban meninggal akibat busung lapar, belum lagi ketika kita lihat rakyat yang mengkonsumsi nasi akin dan nasi tiwon. Ini hanyalah sebagian kecil dari fakta yang terjadi di negeri ini.
Mari kita melihat kebijakan ekonomi secara nasional,  ada beberapa kebijakan pasca reformasi yang menurut penulis sangat merugikan bangsa ini. Salah satu di antaranya adalah disepakatinya perjanjian CAFTA oleh pemerintah Indonesia. CAFTA adalah sebuah kesepakatan di mana jumlah kuota dan tarif tidak lagi dibatasi dalam hal aktivitas ekspor dan impor antara Negara yang tergabung dalam Negara asean. Lakon utama dari CAFTA adalah Negara Cina yang notabenenya adalah Negara yang hari ini dari segi produksi barang baik barang elektronik, otomotif, maupun barang lain yang bisa dikatakan menyaingi bahkan dapat mengalahkan Negara AS dari segi produksi. Makanya tidak heran ketika di Indonesia, produk-produk Cina begitu menjamur di Indonesia dengan harga yang sangat murah karena konon katanya, barang produksi yang tidak laku di Cina kemudian di ekspor ke Negara lain khususnya Indonesia.
Menjamurnya produk-produk Cina di Indonesia tentu berdampak ekonomi bagi Indonesia. Salah satu dampaknya yang paling merugikan adalah produk-produk local yang sekaligus menjadi ciri khas bagi Indonesia menjadi tidak laku dalam artian, hal tersebut pasti akan menggerus nilai-nilai kearifan local bangsa kita. Sehingga, hal ini akan membuat rakyat Indonesia kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Selain itu, bukan hanya masalah kebijakan CAFTA saja, masih banyak kebijakan-kebijakan ekonomi yang lain yang merugikan bangsa ini ditambah lagi dengan adanya pembodohan-pembodohan terhadap rakyat dengan kuantifikasi-kuantifikasi data baik itu pertumbuhan ekonomi, pengangguran, inflasi, dan seterusnya. Satu hal yang pasti bahwa akar permasalan ekonomi tersebut adalah masuknya paham neolib ke sendi ekonomi nasional kita sehingga perselingkuhan antara pemerintah/politikus dengan pemodal (asing atau swasta) di mana-mana.
Langkah solutif yang bisa saya tawarkan adalah dengan melakukan re-negosiasi dengan pihak-pihak yang telah diikat dengan perjanjian sebelumnya khsusnya CAFTA dengan syarat renegosiasi betul-betul harus dilakukan bukan hanya sekedar diwacanakan, ditambah dengan pengawalan dari masyarakat dan mahasiswa khususnya. Renegosiasi yang dilakukan harus berdasarkan pada asas kesejahteraan rakyat Indonesia. Selain itu, produk lokal juga harus ditingkatkan ditambah dengan kebijakan penggunaan produk lokal tersebut kepada seluruh warga negara indonesia tentunya dengan mempertimbangkan juga harga produk tersebut. Produksi produk lokal bukan hanya terbatas pada barang saja akan tetapi, pada semua hal seperti seni, nilai-nilai lokal yang telah tergerus oleh arus globalisasi, dan lain-lain yang jelas berlandaskan pada prinsip kearifan lokal....

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...